Dalam Pencarian

Sebuah Catatan Tanpa Makna

Sunday, May 13, 2007

Yang Beruntung di Tanah Rantau

"Morning... morning Sir... morning Miss...." Ucapan itu terus berulang keluar dari mulut Jon, 28 tahun, dan Soleh, 23 tahun, setiap kali ada turis asing melintas. Sesekali tangan mereka menunjuk ke arah produk-produk yang terpajang. Entah itu jam tangan, kacamata, T-shirt, tas, atau celana pantai.

Begitulah cara mereka mencoba memikat para pelancong asing. Beberapa turis tampak membalas sapaan mereka dengan ucapan serupa. Beberapa lainnya menghentikan langkah, lalu melihat-lihat produk yang ditawarkan. Jon dan Soleh pun tak melewatkan kesempatan itu.

"This is good," ujar mereka bersemangat, diiringi harapan para turis bule itu mau merogoh kocek untuk barang yang mereka tawarkan. Jon menyodorkan sebuah tas jinjing merek Louis Vuiton, yang kemudian dibeli seorang pelancong asal Australia.

Jon dan Soleh boleh dibilang potret kebanyakan orang Raas yang mengadu untung di kawasan Pantai Kuta, Bali. Untuk sementara ini, keduanya memang tidak mengelola usaha sendiri. Mereka masih bekerja untuk Haji Mahali, pemilik toko di Jalan Pantai Kuta itu, yang juga berasal dari Pulau Raas, Madura.

Kuta merupakan satu dari tiga tempat tujuan para perantau asal Raas sejak puluhan tahun silam. Di kawasan itu, seperti dilakoni Haji Mahali, kebanyakan mereka membuka usaha artshop. Produk khas yang ditawarkan adalah beragam barang bermerek terkenal yang dipalsukan. Ada arloji Rolex, Seiko, Tag Heuer, Diesel, hingga Paul Frank. Ada juga aksesori merek Billabong dan Quicksilver hingga tas jinjing Louis Vuiton seperti yang dijajakan Jon tadi.

Yang cukup mengherankan adalah sikap para turis asing itu. Mereka seperti tidak peduli soal keaslian barang yang mereka beli. "Mereka tahu, kok, ini palsu. Mereka tetap menyukainya, terutama para wisatawan dari Australia," ujar Haji Mahali.

Sebelum menjadi bos, Mahali sendiri harus menapaki pengalaman seperti yang dialami anak buahnya, Jon dan Soleh. Pertama kali menjejakkan kaki di Bali sekitar 15 tahun silam, ia bertolak dari kampungnya, Alas Malang, Pulau Raas, dengan bekal seadanya. Tujuannya satu: mencari pekerjaan dan ingin meniru sukses yang diraih para perantau Raas yang sudah mendahuluinya berkiprah di Bali. "Waktu itu, umur saya baru 20 tahun," katanya mengenang.

Di Bali, ia langsung bergabung dengan komunitas Raas yang tinggal di kawasan Kuta. Ia mendapati banyak orang Raas menjadi pedagang asongan jam tangan palsu di situ. Ia pun memutuskan ikut ngacung (menjadi pedagang asongan) bersama teman-temannya. Mahali memulai usahanya dengan bantuan modal sesama perantau Raas. "Separo modal saya waktu itu bantuan dari teman-teman," ujarnya.

Rupanya, memang begitulah awalnya cara kebanyakan perantau Raas meraih sukses di Kuta. Ikatan emosional sebagai sesama warga Raas, plus rasa saling percaya, menjadi modal utama memulai usaha di negeri orang. "Enggak ada perjanjian khusus untuk pinjam barang. Pokoknya, kalau ada yang laku, saya kasih dia uang seadanya. Terserah kita," katanya lagi.

Beruntung, hanya dalam hitungan beberapa pekan, Mahali sudah bisa memodali usahanya sendiri. Penghasilan bersihnya ketika itu bisa mencapai Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per hari. Dari hasil ngacung inilah ia kemudian bisa menunaikan ibadah haji pada 1999.

Namun tonggak terpenting dalam kemajuan usahanya dimulai sejak tahun 2000, justru setelah ia berhadapan dengan kendala besar. Para pengacung yang beroperasi di Kuta diharuskan memiliki kartu anggota Persatuan Pedagang Suvenir Kuta (PPSK). Gara-gara tak punya kartu anggota, ia bersama seorang rekannya berhenti mengacung. Sebagai gantinya, mereka menyewa sebuah toko di Jalan Pantai Kuta.

Sewanya terhitung mahal ketika itu, Rp 30 juta per tahun. Mereka pun harus menyewa toko berukuran 3 x 3 meter itu minimal selama tiga tahun. Harga sewa itu, menurut Mahali, dulu tidak begitu berat. Sebab omsetnya masih lumayan gede. "Dulu, kalau pas ramai, mencari Rp 30 juta satu bulan, sih, gampang," tuturnya.

Malang bagi Mahali dan kawan-kawan. Setelah peristiwa bom Bali, omset mereka menurun drastis. Apalagi, harga sewa toko kini sudah naik lebih dari dua kali lipatnya, yakni Rp 70 juta. Usaha mereka terasa berat walau masih tetap menyisakan sedikit keuntungan. "Sekarang dapat lima ratus sampai tujuh ratus ribu saja sudah lumayan," katanya.

Mahali bukan satu-satunya orang Raas yang beruntung merintis usaha dari nol. Ada juga nama Haji Eno, yang memilih berbisnis barang kerajinan. Dari "markasnya" yang berukuran hanya 3 x 3 meter di Gang Lestari, Jimbaran, ia memutar roda bisnis beromset ratusan juta rupiah. Maklum, barang kerajinan yang jadi andalan bisnisnya sudah merambah ke mancanegara. "Barusan saya kirim barang ke Amerika. Nilainya sampai Rp 280 juta," ujar bapak dua anak itu.

Bisnis utama Haji Eno adalah menyalurkan kerajinan bikinan 50 orang warga Raas. Selama ini, ia banyak mendapat pesanan dari Malaysia, Thailand, Taiwan, Amerika, Denmark, bahkan Spanyol. Sebuah laptop, lengkap dengan modem yang tersambung ke saluran telepon, jadi andalannya untuk menggaet pembeli dari mancanegara.

Bila menyimak latar belakangnya dahulu, mungkin banyak orang yang tak akan percaya Haji Eno ternyata bisa sukses berbisnis. Maklum, alih-alih bahasa Inggris, bahasa Indonesia saja ia dulu tidak fasih. Banyak sekali kata bahasa Indonesia yang tidak dipahaminya. "Saya dulu memang tidak bisa bahasa Indonesia sama sekali," katanya.

Haji Eno terhitung nekat ketika mengambil keputusan merantau. Bertolak dari Alas Malang dengan tujuan Bali pada 1988 tanpa modal kepandaian secuil pun. Maklumlah, ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas II sekolah dasar. "Awalnya saya ingin cari pengalaman di Bali supaya bisa adu pikiran dengan orang asing," katanya lagi.

Sampai di Bali, jelas tidak mudah bagi dia untuk mendapatkan pekerjaan karena kendala bahasa. Titik terang didapatnya setelah bertemu komunitas Raas yang tinggal di Jimbaran. Ia mulai bekerja sebagai perajin. Di sinilah ia sedikit demi sedikit belajar bahasa Indonesia.

Sejalan dengan itu, ia merasa tertantang mendekati orang-orang asing yang dilihatnya banyak berkeliaran. Walhasil, di sela-sela waktunya menggarap kerajinan tempel, Eno mengikuti jejak banyak rekan sebayanya yang ngacung di Pantai Kuta sambil belajar bahasa Inggris. "Biar bisa komunikasi sama bule. Saya ingin adu pemikiran sama mereka," ujar Eno.

Dewi keberuntungan ternyata segera menghampirinya, walau ia belum fasih benar berbahasa Inggris. Seorang warga Swiss yang membuka usaha di Bali mempercayakan pengelolaan usahanya kepada Eno. Kepercayaan serupa ia dapatkan dari seorang warga Italia, sampai akhirnya Eno merintis usaha perniagaan barang kerajinan sendiri pada 1994. "Saya bersyukur sekali usaha ini berkembang," katanya.

Mahali dan Eno barulah dua pengusaha asal Raas yang sukses di Bali. Di kawasan Kuta, masih ada puluhan pengusaha Raas lainnya yang membuka artshop. Demikian pula di Gang Lestari, Jimbaran, masih terdapat puluhan pengusaha yang mengadu untung di bisnis kerajinan seperti Eno. Sukses yang mereka gapai inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Pulau Raas untuk berbondong-bondong ke Pulau Dewata.

Erwin Y. Salim dan Komang Erviani
[Ragam, Gatra Nomor 25 Beredar Kamis, 3 Mei 2007]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home