Dalam Pencarian

Sebuah Catatan Tanpa Makna

Thursday, March 29, 2007

MEREKA MEMBUNUH TEMAN SENDIRI


Sejumlah anak buah kapal (ABK) melakukan perampasan terhadap kapal motor milik majikannya sendiri. Nahkoda kapal pun dibunuh. Ketika hendak menjual kapal di Thailand, Marine Police Phuket Thailand menangkap mereka karena melanggar perbatasan wilayah.

Supratno alias Yoyok, cuma menunduk ketika tim penyidik Kepolisian Perairan (Polair) Polda Bali menanyainya. Tak banyak kata yang keluar dari mulut pria asal Desa Sukolilo Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur itu. “Saya nggak tahu apa-apa. Saya cuma disuruh mbasmi (membasmi/membunuh),”dalih Yoyok. Membasmi pakai apa? “Pakai kampak,” jawab Yoyok pendek, langsung merunduk. Anak buah kapal (ABK) yang sudah bertahun-tahun mencari nafkah di Pelabuhan Benoa Bali itu, seperti trauma mengingat kejadian itu. Kejadian yang menjadikannya tersangka kasus pembunuhan berencana dan perampasan kapal dengan ancaman hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun penjara. Ancaman hukuman serupa juga dikenakan pada empat rekannya sesama ABK, yakni Masudi alias Basir, Bambang Wendi Bin Sanudi, Dwi Agus Gunadi, dan Supriyanto alias Nur (masih buron).

Mimpi buruk Yoyok dan rekan-rekannya, merupakan buah dari kejahatan yang dilakukannya. Kejadian tersebut bermula ketika Yoyok bersama sembilan orang temannya sesama ABK dan seorang nahkoda, berangkat untuk mencari ikan dari Pelabuhan Benoa Bali dengan Kapal Motor Sanjaya 08. Kapal milik PT. Sentral Benoa Utama itu, memang rutin melakukan pencarian ikan tuna untuk diekspor. Ketika berangkat pada tanggal 16 Desember 2006 menuju fishing ground, terdapat 11 orang nahkoda dan ABK yang tercatat ikut serta dalam pelayaran. Diantaranya Bantan alias Hazim (nahkoda), Hariyanto Luis, Gusti, Syamsul, Dwi Agus Gunadi, Markus Kang Buaya, Herman, Bambang Wihandi bin Sunadi, Supriyanto, M Nur Khosim, Sudiharto, Supratno, Ahmad Rohman, Masudi, dan Nurno Supriyanto alias Nur.


Setelah dua bulan lebih di lautan, pada 28 Februari 2007 pihak PT. Sentral Benoa Utama tiba-tiba kehilangan kontak dengan kapal berkekuatan 138 gross ton dengan mesin Nissan 370 pk tersebut. Pihak perusahaan lantas melaporkan kehilangan itu pada petugas Polair Polda Bali pada 2 Maret 2007 dengan surat bernomor 19/P/SBU/III/2007. Mendapat laporan kehilangan, Direktur Polair Polda Bali, AKBP Oka Eswara Chandrana, langsung menghubungi tentang kehilangan ini pada semua Polair di Indonesia. Namun, hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan Kapal Sanjaya 08 beserta awaknya. Baru pada 14 Maret 2007, Polair Polda Bali mendapat sebuah telex dari Marine Police Provinsi Phuket Thailand yang mengabarkan temuan satu unit kapal motor dengan dokumen dan ciri-ciri fisik yang tidak sama. Rupanya, ketika merapat di Thailand, KM Sanjaya 08 sudah berganti nama menjadi Medan Jaya Jakarta. Nahkodanya yang dalam dokumen bernama Bantan, pun tak ditemukan di dalam kapal. Cat kapal yang semula biru kombinasi merah, menjadi didominasi warna merah. Kecurigaan Marine Police Phuket Thailand yang awalnya hanya menangkap kapal karena melewati perbatasan ngara tanpa izin, makin besar ketika hanya ditemukan 11 orang ABK dari 15 orang yang tercatat. Empat nama, masing-masing Bantan (nahkoda), Syamsul, Markus Kang Buaya, dan Nurno Supriyanto, hilang. Dari sana, teka teki hilangnya KM sanjaya 08 mulai terkuak. “Saya langsung minta pemilik kapal untuk melihat langsung kondisi kapal di Thailand. Untuk memastikan apakah itu benar kapal mereka atau tidak,” seru Oka Eswara. Dari sana dipastikan, KM Medan Jaya Jakarta memang adalah KM Sanjaya 08.

Komunikasi langsung dijalin Polair Polda Bali dengan Marine Police Provinsi Phuket Thailand. Hasilnya, kepolisian air di Phuket Thailand itu membantu mendeportasi ke kesebelas ABK ke Indonesia. Kamis sore pekan lalu, pesawat Malaysia Airways yang membawa mereka, mendarat di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Ia langsung dijemput Dir Polair Polda Bali beserta tim penyidik Polair dengan truk polisi. Penyidikan pun dilaksanakan secara estafet terhadap kesebelas ABK tersebut. Dari sana terungkap, KM Sanjaya 08 telah dirampas dan akan dijual di Thailand.

Awalnya, Polair menduga keempat orang yang hilang di dalam kapal, telah dibunuh oleh kesebelas ABK. Namun penyidikan beberapa hari mengungkap kenyataan lain. Rupanya, hanya nahkoda kapal Bantan yang telah dibunuh di tengah laut. Ini diduga karena Bantan menyatakan tak setuju dengan rencana merampas kapal dan menjualnya di Thailand. Ketika itu, 27 Februari 2007, sekitar pukul 05.30 dinihari, nahkoda Bantan yang tengah tidur nyenyak dengan posisi tertelungkup dipukul dengan kampak oleh tersangka Bambang Wendi bin Sanusi. Supratno lantas menyusul dengan memberikan tiga tusukan pisau di pinggang kiri Bantan. Seketika itu juga, Bantan tewas. Bersama Dwi Agus Sunadi yang ketika itu bertugas mengambil alih kendali, Supratno dan Bambang lantas menggulung mayat Bantan dalam kasur, dan membuangnya di Perairan Aceh Selatan. Satu orang lainnya, bernama Masadi, bertugas menjagai ABK lain yang sedang tidur. Mereka ingin memastikan, ABK lain tidak melihat kejadian itu.

Ahmad Rohman, salah seorang ABK, secara tidak sengaja sempat melihat langsung kejadian tersebut. “Waktu itu saya sedang nggak bisa tidur. Jadi saya jalan-ajalan aja,” kenang Rohman saat ditemui di Polair Polda Bali. Gara-gara ketahuan melihat kejadian itu, Masadi menyiramkan air panas ke punggung Rohman. “Waktu itu diancam. Nggak berani dah kalau pas di tengah laut begitu,” terangnya.

Paska pembunuhan itu, mereka langsung mengalihkan perjalanan menuju Thailand untuk menjual kapal beserta hasil tangkapan ikannya. Ketika itu pula, kontak dengan PT. Sentral Benoa Utama terputus. Salah seorang ABK lain, Nur Khosim, sempat mengaku heran ketika arah kapal tidak sesuai rencana. Selain itu, ketika pangun pagi itu ia juga tak melihat keberadaan Bantan. “Saya sempat nanya-nanya. Tapi mereka (para tersangka) bilang nggak tahu,” ujar pria 21 tahun tersebut. Malah, Nurkhosim mendapat bentakan dari tersangka. “Katanya, nggak usah tanya-tanya,” ceritanya. Karena sadar tengah berada di tengah laut, Nurkhosim tidak berani lagi melakukan apa-apa. Juga beberapa rekan ABK lainnya. “Akhirnya kita ngikut aja. Suasananya sudah nggak enak. Semuanya diem-dieman. Nggak ada yang ngobrol-ngobrol kayak sebelumnya,” cerita Nurkhosim.

Ketika hendak merapat di Pelabuhan Phuket Thailand, Nurno Supriyanto yang diduga sebagai otak dari perampasan kapal dan pembunuhan tersebut, meminta izin untuk merapat duluan untuk menelepon. Diperkirakan, Nurno akan mencari pembeli kapal beserta tangkapan mereka. Saat turun dengan sampan, Nurno ditemani Syamsul, dan Markus Kang Buaya. Namun ketiganya tak pernah kembali ke kapal sampai Marine Police Phuket Thailand menangkap kapal atas tuduhan melanggar perbatasan. Nurno dan dua rekannya yang diperkirakan tidak tahu menahu dengan pembunuhan dan perampasan kapal, tidak berani kembali ke kapal paska penangkapan.

“Setelah ditangkap, kita sempat diperiksa di dalam kapal selama tiga hari. Setelah itu, menginap tiga hari di kantor polisi sana,” cerita Nurkhosim. Atas bantuan Konsulat RI di Thailand, kesebelas ABK akhirnya dideportasi ke Bali. “Kita nggak ikut-ikutan mbak. Kita juga diancam,” terang Nurkhosim, diiyakan enam rekannya yang lain. Tim penyidik yang dipimpin Kasi Bin Gakkum AKP I Gusti Ngurah Arbawa, hingga saat ini baru menetapkan lima tersangka. Diantaranya Nurno Supriyanto yang hingga kini menjadi DPO sebagai otak pelaku, Masudi sebagai pengawas ABK lainnya yang saat kejadian sedang tidur, Supratno dan Bambang Wendi sebagai algojo pembunuh Bantan, serta Dwi Agus Gunadi yang mengambil alih kendali kapal dan membantu membuang mayat Bantan ke Perairan Aceh. “Sampai saat ini, kami masih melakukan penyidikan secara lebih intensif. Ini belum hasil final,” ungkap Arbawa. Hingga kini, Polair masih mencari keberadaan Nurno dan dua ABK lainnya dengan bantuan polisi Thailand.

Nurkhosim, Rohman, dan beberapa rekannya, mengaku senang telah lepas dari ancaman para tersangka. Belasan hari berada di bawah ancaman di tengah lautan, bagi mereka bukanlah hal mudah untuk dihadapi. “Agak khawatir juga kalau mau melaut lagi. Tapi gimana lagi…,” ujar Nur Khosim sambil menerawang. Kondisi ekonomi yang pas-pasan, memaksa pria asal Jawa Timur ini untuk tetap melakukan pekerjaannya. [Komang Erviani]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home