Monday, May 14, 2007
Sunday, May 13, 2007
Yang Beruntung di Tanah Rantau
"Morning... morning Sir... morning Miss...." Ucapan itu terus berulang keluar dari mulut Jon, 28 tahun, dan Soleh, 23 tahun, setiap kali ada turis asing melintas. Sesekali tangan mereka menunjuk ke arah produk-produk yang terpajang. Entah itu jam tangan, kacamata, T-shirt, tas, atau celana pantai.
Begitulah cara mereka mencoba memikat para pelancong asing. Beberapa turis tampak membalas sapaan mereka dengan ucapan serupa. Beberapa lainnya menghentikan langkah, lalu melihat-lihat produk yang ditawarkan. Jon dan Soleh pun tak melewatkan kesempatan itu.
"This is good," ujar mereka bersemangat, diiringi harapan para turis bule itu mau merogoh kocek untuk barang yang mereka tawarkan. Jon menyodorkan sebuah tas jinjing merek Louis Vuiton, yang kemudian dibeli seorang pelancong asal Australia.
Jon dan Soleh boleh dibilang potret kebanyakan orang Raas yang mengadu untung di kawasan Pantai Kuta, Bali. Untuk sementara ini, keduanya memang tidak mengelola usaha sendiri. Mereka masih bekerja untuk Haji Mahali, pemilik toko di Jalan Pantai Kuta itu, yang juga berasal dari Pulau Raas, Madura.
Kuta merupakan satu dari tiga tempat tujuan para perantau asal Raas sejak puluhan tahun silam. Di kawasan itu, seperti dilakoni Haji Mahali, kebanyakan mereka membuka usaha artshop. Produk khas yang ditawarkan adalah beragam barang bermerek terkenal yang dipalsukan. Ada arloji Rolex, Seiko, Tag Heuer, Diesel, hingga Paul Frank. Ada juga aksesori merek Billabong dan Quicksilver hingga tas jinjing Louis Vuiton seperti yang dijajakan Jon tadi.
Yang cukup mengherankan adalah sikap para turis asing itu. Mereka seperti tidak peduli soal keaslian barang yang mereka beli. "Mereka tahu, kok, ini palsu. Mereka tetap menyukainya, terutama para wisatawan dari Australia," ujar Haji Mahali.
Sebelum menjadi bos, Mahali sendiri harus menapaki pengalaman seperti yang dialami anak buahnya, Jon dan Soleh. Pertama kali menjejakkan kaki di Bali sekitar 15 tahun silam, ia bertolak dari kampungnya, Alas Malang, Pulau Raas, dengan bekal seadanya. Tujuannya satu: mencari pekerjaan dan ingin meniru sukses yang diraih para perantau Raas yang sudah mendahuluinya berkiprah di Bali. "Waktu itu, umur saya baru 20 tahun," katanya mengenang.
Di Bali, ia langsung bergabung dengan komunitas Raas yang tinggal di kawasan Kuta. Ia mendapati banyak orang Raas menjadi pedagang asongan jam tangan palsu di situ. Ia pun memutuskan ikut ngacung (menjadi pedagang asongan) bersama teman-temannya. Mahali memulai usahanya dengan bantuan modal sesama perantau Raas. "Separo modal saya waktu itu bantuan dari teman-teman," ujarnya.
Rupanya, memang begitulah awalnya cara kebanyakan perantau Raas meraih sukses di Kuta. Ikatan emosional sebagai sesama warga Raas, plus rasa saling percaya, menjadi modal utama memulai usaha di negeri orang. "Enggak ada perjanjian khusus untuk pinjam barang. Pokoknya, kalau ada yang laku, saya kasih dia uang seadanya. Terserah kita," katanya lagi.
Beruntung, hanya dalam hitungan beberapa pekan, Mahali sudah bisa memodali usahanya sendiri. Penghasilan bersihnya ketika itu bisa mencapai Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per hari. Dari hasil ngacung inilah ia kemudian bisa menunaikan ibadah haji pada 1999.
Namun tonggak terpenting dalam kemajuan usahanya dimulai sejak tahun 2000, justru setelah ia berhadapan dengan kendala besar. Para pengacung yang beroperasi di Kuta diharuskan memiliki kartu anggota Persatuan Pedagang Suvenir Kuta (PPSK). Gara-gara tak punya kartu anggota, ia bersama seorang rekannya berhenti mengacung. Sebagai gantinya, mereka menyewa sebuah toko di Jalan Pantai Kuta.
Sewanya terhitung mahal ketika itu, Rp 30 juta per tahun. Mereka pun harus menyewa toko berukuran 3 x 3 meter itu minimal selama tiga tahun. Harga sewa itu, menurut Mahali, dulu tidak begitu berat. Sebab omsetnya masih lumayan gede. "Dulu, kalau pas ramai, mencari Rp 30 juta satu bulan, sih, gampang," tuturnya.
Malang bagi Mahali dan kawan-kawan. Setelah peristiwa bom Bali, omset mereka menurun drastis. Apalagi, harga sewa toko kini sudah naik lebih dari dua kali lipatnya, yakni Rp 70 juta. Usaha mereka terasa berat walau masih tetap menyisakan sedikit keuntungan. "Sekarang dapat lima ratus sampai tujuh ratus ribu saja sudah lumayan," katanya.
Mahali bukan satu-satunya orang Raas yang beruntung merintis usaha dari nol. Ada juga nama Haji Eno, yang memilih berbisnis barang kerajinan. Dari "markasnya" yang berukuran hanya 3 x 3 meter di Gang Lestari, Jimbaran, ia memutar roda bisnis beromset ratusan juta rupiah. Maklum, barang kerajinan yang jadi andalan bisnisnya sudah merambah ke mancanegara. "Barusan saya kirim barang ke Amerika. Nilainya sampai Rp 280 juta," ujar bapak dua anak itu.
Bisnis utama Haji Eno adalah menyalurkan kerajinan bikinan 50 orang warga Raas. Selama ini, ia banyak mendapat pesanan dari Malaysia, Thailand, Taiwan, Amerika, Denmark, bahkan Spanyol. Sebuah laptop, lengkap dengan modem yang tersambung ke saluran telepon, jadi andalannya untuk menggaet pembeli dari mancanegara.
Bila menyimak latar belakangnya dahulu, mungkin banyak orang yang tak akan percaya Haji Eno ternyata bisa sukses berbisnis. Maklum, alih-alih bahasa Inggris, bahasa Indonesia saja ia dulu tidak fasih. Banyak sekali kata bahasa Indonesia yang tidak dipahaminya. "Saya dulu memang tidak bisa bahasa Indonesia sama sekali," katanya.
Haji Eno terhitung nekat ketika mengambil keputusan merantau. Bertolak dari Alas Malang dengan tujuan Bali pada 1988 tanpa modal kepandaian secuil pun. Maklumlah, ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas II sekolah dasar. "Awalnya saya ingin cari pengalaman di Bali supaya bisa adu pikiran dengan orang asing," katanya lagi.
Sampai di Bali, jelas tidak mudah bagi dia untuk mendapatkan pekerjaan karena kendala bahasa. Titik terang didapatnya setelah bertemu komunitas Raas yang tinggal di Jimbaran. Ia mulai bekerja sebagai perajin. Di sinilah ia sedikit demi sedikit belajar bahasa Indonesia.
Sejalan dengan itu, ia merasa tertantang mendekati orang-orang asing yang dilihatnya banyak berkeliaran. Walhasil, di sela-sela waktunya menggarap kerajinan tempel, Eno mengikuti jejak banyak rekan sebayanya yang ngacung di Pantai Kuta sambil belajar bahasa Inggris. "Biar bisa komunikasi sama bule. Saya ingin adu pemikiran sama mereka," ujar Eno.
Dewi keberuntungan ternyata segera menghampirinya, walau ia belum fasih benar berbahasa Inggris. Seorang warga Swiss yang membuka usaha di Bali mempercayakan pengelolaan usahanya kepada Eno. Kepercayaan serupa ia dapatkan dari seorang warga Italia, sampai akhirnya Eno merintis usaha perniagaan barang kerajinan sendiri pada 1994. "Saya bersyukur sekali usaha ini berkembang," katanya.
Mahali dan Eno barulah dua pengusaha asal Raas yang sukses di Bali. Di kawasan Kuta, masih ada puluhan pengusaha Raas lainnya yang membuka artshop. Demikian pula di Gang Lestari, Jimbaran, masih terdapat puluhan pengusaha yang mengadu untung di bisnis kerajinan seperti Eno. Sukses yang mereka gapai inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Pulau Raas untuk berbondong-bondong ke Pulau Dewata.
Erwin Y. Salim dan Komang Erviani
[Ragam, Gatra Nomor 25 Beredar Kamis, 3 Mei 2007]
Friday, May 04, 2007
Dana Sehat Si Miskin Diembat
Dana asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin, ditilep oknum pegawai Rumah Sakit Sanglah. Nilainya mencapai Rp 2,3 miliar. Rumah Sakit Sanglah dan PT. Askes, tiba-tiba saling menyalahkan.Diduga ada konspirasi.
Ketika mengecek pembayaran klaim asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askes Maskin) yang ditransfer PT. Askes ke rekening Rumah Sakit Sanglah, 23 April lalu, Drs I Ketut Nadra MM terkejut. Laporan Askes yang menyebut telah melakukan transfer sebesar 6,7 miliar, tidak ditemukan dalam rekening Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali bernomor 002343-7 atas nama RS Sanglah. Direktur Keuangan Rumah Sakit Sanglah itu hanya menemukan dana sebesar Rp 6,4 miliar. Selisih Rp 300 juta, mengundang tanda tanya besar di benak Nadra.
Dalam kondisi panik, Nadra langsung mendatangi PT. Askes Kantor Cabang Denpasar guna mempertanyakan kebenaran nilai transfer. “Waktu itu saya tanya, kok transfer cuma Rp 6,4 miliar?” cerita Nadra. Di luar dugaan, pihak Askes yang ketika itu diwakili langsung oleh Manajer PT. Askes Cabang Denpasar, dr. Ngurah Mas Aryanthi, bersikeras telah mentransfer Rp 6,7 miliar. “Ibu Mas bilang, dana Rp 6,7 miliar sudah ditransfer ke rekening Sanglah. Coba dicek ke rekening yang satu lagi,” terang Nadra meniru pernyataan Aryanthi.
Nadra mengaku kaget luar biasa ketika itu. Pasalnya, selama ini Rumah Sakit Sanglah hanya memiliki satu rekening di BPD Bali. Rekening resmi atas nama Rumah Sakit Sanglah itu bahkan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan, sesuai aturan perundang-undangan. Namun pihak Askes justru menyebut keberadaan sebuah rekening lain di BNI 46, yang diklaim sebagai rekening resmi milik Sanglah. Pihak Askes mengaku selalu mentransfer dana klaim Askes Maskin ke dua rekening tersebut, yakni rekening resmi di BPD Bali dan BNI 46.
Setelah dicek, ternyata rekening BNI 46 bernomor 97423728 tersebut dibuka atas nama IGA Maryani/RS Sanglah. IGA Maryani adalah petugas entry data masyarakat miskin di Rumah Sakit Sanglah. Keberadaan satu rekening tak dikenal yang mengatasnamakan Rumah Sakit Sanglah, membuat kaget. “Saya bilang ke Askes, ini rekening siapa? Yang saya tahu, Sanglah hanya punya satu rekening,” cerita Nadra.
Ternyata, ini bukan kali pertama PT. Askes mentransfer dana klaim Askes Maskin ke rekening BNI 46. Sejak dibuka pada Februari 2006, rekening pribadi milik oknum pegawai Sanglah itu sudah menerima 12 kali transferan dari PT. Askes. Nilainya pun tak tanggung, mencapai lebih dari Rp 2,3 miliar. Transfer dilakukan antara 5 April 2006 hingga 20 April 2007 atas pembayaran klaim dana Askes Maskin Februari 2006 hingga Januari 2007. Namun dana yang tersisa di dalam rekening, hanya Rp 2 juta.
Manajer PT. Askes Cabang Denpasar, dr. Ngurah Mas Aryanthi, beralasan transfer ke rekening BNI 46 dilakukan atas dasar kepercayaan yang tinggi terhadap pegawai IGA Maryani, yang telah lama menjadi contact person RS Sanglah di PT. Askes. Menurut Mas, IGA Maryani mengajukan satu rekening baru di BNI 46 pada Februari 2006. “Dia (IGA Maryani) bilang ke saya, Rumah Sakit Sanglah punya rekening baru di BNI 46. Tolong transfer klaim maskin tiap bulannya, displit sebagian ke rekening baru ini. Karena kami sudah percaya dengan dia, ya kami selalu transfer sebagian ke rekening BNI,” terang Mas.
IGA Maryani sendiri, menurut Nadra, telah mengakui perbuatannya. Hal itu dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani pegawai yang bekerja di RS Sanglah sejak tahun 1995 sebagai honorer dan baru diangkat sebagai pegwai negeri sipil (PNS) tahun 1997 itu. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani 26 April tersebut, Maryani mengakui telah menerima transfer dana dan menyatakan akan menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Anehnya, dalam surat pernyataan juga disebutkan bahwa pihaknya tidak akan melibatkan karyawan PT. Askes.
Tim kuasa hukum IGA Maryani, I Ketut Gede Suarnatha, SH,MH dan R. Teddy Raharjo,SH, mempertanyakan keabsahan surat pernyataan kliennya itu. “Untuk apa ada poin tidak akan melibatkan karyawan PT. Askes ?” Teddy heran. Menurut Teddy, kliennya terpaksa menandatangani surat pernyataan itu karena berada di bawah tekanan pihak Askes dan RS Sanglah. Yang juga ganjil, keesokan harinya pihak RS Sanglah kembali meminta IGA Maryani menandatangani surat pernyataan serupa. Bedanya, poin ketiga diganti dengan pernyataan “tidak akan melibatkan karyawan RS Sanglah”.
Baik Teddy maupun Suarnatha, menduga ada konspirasi besar dibalik penuduhan terhadap kliennya. Menurut Suarnatha, kliennya yang saat ini dinon-jobkan tidak pernah merasa membuka rekening atas nama IGA Maryani/RS Sanglah. Karenanya, Maryani tak pernah tahu ke mana dana yang pernah mampir ke rekening atas namanya itu. Maryani memang memiliki tiga rekening atas nama dirinya di BNI 46. dua rekening digunakan untuk tabungan kedua anaknya, sementara satu rekenig untuk menerima gaji dari RS Sanglah. “Semua rekeningnya atas nama IGA Maryani. Dia tidak pernah buka rekening atas nama IGA Maryani/RS Sanglah,” tegas Suarnatha.
Yang tak kalah aneh, menurut Teddy, Maryani tiba-tiba menemukan buku tabungan atas nama IGA Maryani/RS Sanglah di dalam tasnya, tepat ketika ia dituduh menyelewengkan dana. “Waktu itu Ibu Maryani diminta mengeluarkan buku tabungan dari tasnya. Karena merasa tak bersalah, dia langsung mengambil buku tabungan BNI yang memang ada di tasnya. Ia sendiri kaget karena ternyata di tasnya ada buku tabungan atas nama IGA Maryani/RS Sanglah,” terang Teddy. Dari sana, dugaan adanya konspirasi besar di balik kasus itu, makin menguat. Ia menduga ada upaya menutupi kesalahan seseorang atau beberapa orang kuat, dengan menjadikan kliennya sebagai tumbal. “Klien kami hanya bertugas sebagai staf entry data. Dia mengaku tidak pernah ke Askes. Lagi pula, yang aneh, kenapa setelah satu tahun baru diketahui? Apa selama ini Sanglah tidak pernah merasa ada dana transfer yang kurang?” tandas Teddy.
Pihak PT. Askes dengan RS Sanglah sendiri, terkesan saling menyalahkan atas kasus ini. Rumah Sakit Sanglah menilai PT. Askes gegabah mentransfer dana ke rekening pribadi. Sementara Kepala PT. Askes Regional Bali, NTB dan NTT, dr. Erna Wijaya Kusuma, justru balik mempertanyakan sikap RS Sanglah yang baru mempertanyakan setelah berjalan satu tahun. “Kenapa baru sekarang dipertanyakan Selama ini, kok Sanglah tidak pernah menanyakan ada kekurangan transfer klaim?” tegas Erna, sembari mengaku selalu mengirimkan surat pemberitahuan dan copy bukti transfer dana kedua rekening ke rumah sakit Sanglah lewat jasa ekspedisi. Tapi, Kepala Satuan Pengendalian Intern (SPI) RS Sanglah, Ketut Rupini, membantah telah menerima surat pemberitahuan dan bukti transfer. “Yang jelas, kami tidak pernah terima surat pemberitahuan dan bukti transfer. Kami tidak tahu apakah yang bersangkutan (IGA Maryani,red) juga yang menerima surat itu,” tandas Rupini. Anehnya, kekurangan dana transfer yang selama ini diterima Sanglah, menurut Rupini, langsung dibukukan sebagai piutang kepada PT. Askes.
Keganjilan pun tercium oleh anggota DPRD Bali. Anggota Fraksi PDIP, Made Arjaya, mengaku heran melihat sikap saling menyalahkan PT. Askes dan RS Sanglah. Sikap PT. Askes yang langsung mentransfer tanpa konfirmasi kepada pihak berwenang di RS Sanglah, dinilai sebagai tindakan gegabah. Sementara sikap RS Sanglah yang tidak mempertanyakan kekurangan transfer dan langsung membukukannya sebagai piutang, juga sesuatu yang aneh. Padahal di saat yang sama, Erna mengakui kalau Direktur Keuangan RS Sanglah, Ketut Nadra, seringkali datang ke PT. Askes. Ketika dipanggil anggota DPRD Bali untuk menjelaskan perihal kasus tersebut, Erna mengaku bahwa Nadra datang ke PT. Askes sekitar dua hingga tiga kali sebulan. Tidak itu saja, Nadra juga dikatakan sering menelpon ke PT. Askes. “Katanya antara RS Sanglah dan PT. Askes sering kontak. Kenapa hal seperti ini bisa jalan sampai satu tahun,” keluhnya.
Yang tak kalah ganjil, baik pihak PT. Askes maupun RS Sanglah, tidak berupaya mengusut masalah ini secara hukum. RS Sanglah beralasan, pihak PT.Askes lah yang seharusnya melapor secara hukum. "Kalau dilihat persoalannya pihak PT Askes seharusnya yang memperkarakan (melaporkan IGA MA, Red)," jelas Direktur Utama Rumah Sakit Sanglah, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA. Sementara pihak PT. Askes mengaku masih akan mempelajari kasus ini.
Meski demikian, pihak Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan RI langsung menurunkan tim pemeriksanya setelah mendengar kasus ini. Tim yang diketuai Inspektor IV I Gusti Gde Djestawana, SKM, M.Kes tersebut, langsung mengorek keterangan para pegawai rumah sakit dan memeriksa dokumen-dokumen maskin selama periode April 2006 hingga April 2007. Tim yang terdiri atas lima orang itu, rencananya akan melakukan pemeriksaan selama enam hari, untuk mencari kebenaran atas dugaan penyelewengan dana bagi masyarakat miskin itu.
Selain itu, meski tak mendapat laporan resmi, pihak Kejaksaan Tinggi Bali menyatakan tetap akan mengusut kasus ini. Senin, 7 Mei, pihak Kejati Bali memanggil IGA Mayani untuk dimintai keterangan. Penyelesaian kasus secara hukum, menjadi penting. Apalagi dana yang digelapkan adalah dana kesehatan bagi masyarakat miskin. [Komang Erviani]
Transfer Klaim Askesin ke Rekening IGAM
TGL TRANSFER NOMINAL UNTUK PEMBAYARAN KLAIM
5 April 2006 Rp. 177.580.500 Februari 2006
18 Mei 2006 Rp. 250.000.000 Maret 2006
7 Juni 2006 Rp. 150.000.000 Juni 2006
26 Juni 2006 Rp. 300.000.000 April 2006
21 Juli 2006 Rp. 150.000.000 Mei 2006
28 Agustus 2006 Rp. 227.000.000 Juni 2006
28 September 2006 Rp. 200.000.000 Juli 2006
2 November 2006 Rp. 100.441.500 Agustus 2006
24 November 2006 Rp. 137.597.500 September 2006
18 Desember 2006 Rp. 125.000.000 Oktober 2006
22 Maret 2007 Rp. 250.000.000 Desember 2006
20 April 2007 Rp. 280.311.428 Januari 2007
TOTAL Rp. 2.347.930.928
-------------------------------------------------------------------------------
Penyelamat yang Membuat Sekat
Komang Sujana, terus merengek di gendongan ibunya, Luh Murni, 23 tahun. Selang infus yang menempel di tangan kanannya, membuat bocah dua tahun empat bulan itu tampak gelisah kesakitan. Mata kanannya terbalut kapas dan perban.
Sudah hampir setahun, Komang tiba-tiba menjadi sangat akrab dengan Sal Anak Kelas III Jempiring, Rumah Sakit Sanglah. Bersama lima pasien anak lain di ruang yang hanya seluas 5 x 3 meter itu, Sujana kini harus menghabiskan sebagian besar harinya.
Sejak dinyatakan mengidap tumor ganas pada mata, Sujana wajib berobat rutin ke Rumah Sakit Sanglah. Awalnya, ia bahkan harus dirawat selama dua bulan penuh. Namun kini, ia hanya perlu menghabiskan empat hari tiap minggunya, untuk tinggal di rumah sakit. Itu karena Sujana harus menjalani kemotherapi untuk mengobati tumor di kedua matanya yang kini sudah tak berfungsi lagi.
Luh Murni dan suaminya Gde Nyeneng, 21 tahun, bahkan harus pindah dari tempat asalnya di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem ke Denpasar, demi mempermudah akses pengobatan Komang. Awalnya, Luh Murni mengaku tak tahu harus melakukan apa pada mata Komang. Keterbatasan biaya, sempat membuatnya hanya mengobati Komang ke dukun di desa.
Namun setelah tahu ada fasilitas asuransi kesehatan bagi masyaakat miskin, Luh Murni seperti mendapat angin segar. Ia kini tak perlu mengeluarkan dana sepeser pun untuk mendapat layanan kesehatan. “Semuanya gratis,” terang Murni. Penghasilan suaminya yang tak menentu sebagai sopir angkot di Denpasar, dipastikan tak akan mampu membiayai pengobatan sang anak. “Syukur juga ada layanan gratis. Kalau nggak, cari di mana? Bapaknya kadang-kadang dapat uang, kadang nggak. Malah sering norok karena penumpang sepi,” ujar ibu tiga anak itu.
Luh Murni termasuk beruntung, karena tak pernah merasa dianaktirikan pihak rumah sakit. Tapi jamak terdengar, ada keluhan dari masyarakat miskin atas layanan yang tak memuaskan bagi mereka. Komang Ane, termasuk salah satu yang pernah mengalaminya. Ketika ia mengalami kecelakaan dan harus dirawat inap, perawat rumah sakit tiba-tiba bersikap tak ramah saat tahu ia menggunakan kartu miskin. Ia bahkan harus menghuni lorong rumah sakit, untuk mendapatkan kamar di kelas III. Pria asal Buleleng itu, tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima perlakuan kasar dari perawat di Rumah Sakit Sanglah itu.
Pasien miskin asal Gerokgak Buleleng, Made Suparja, 50 tahun, juga sempat merasakan sikap tak mengenakkan hanya gara-gara ia mengunakan asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askes Maskin). Itu dirasakannya ketika mencari hendak mencari ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum Singaraja. “Istilahnya, kalau pakai kartu miskin, nggak ada kamar. Tapi kalau pakai duit, ada kamar,” keluhnya.
Namun Kepala PT. Askes Regional Bali, NTB dan NTT, dr. Erna Wijaya Kusuma, membantah adanya kecenderungan itu. Menurutnya, ia selalu melakukan koordinasi dengan pihak rumah sakit agar memberi pelayanan terbaik, termasuk bagi pasien miskin. Pihak rumah sakit pun mengaku selalu mencoba memberi layanan terbaiknya. Dirut RS Sanglah dr. Lanang M. Rudhiarta, menyatakan selalu berupaya memberi yang terbaik bagi semua pasien, tak terkecuali pasien miskin. Disebutkan Lanang, RS Sanglah kini memiliki 677 tempat tidur yang 40 persennya diperuntukkan bagi pasien maskin.
Berdasarkan data PT. Askes Regional Bali, NTB, dan NTT, selama tahun 2006 terdapat sedikitnya 548.357 jiwa penduduk Bali yang memegang kartu Askes Maskin. “Kami selalu berupaya memberi layanan terbaik,” tegas Erna. [Komang Erviani]
Dana Sehat Si Miskin Diembat
Dana asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin, ditilep oknum pegawai Rumah Sakit Sanglah. Nilainya mencapai Rp 2,3 miliar. Rumah Sakit Sanglah dan PT. Askes, tiba-tiba saling menyalahkan.Diduga ada konspirasi.
Ketika mengecek pembayaran klaim asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askes Maskin) yang ditransfer PT. Askes ke rekening Rumah Sakit Sanglah, 23 April lalu, Drs I Ketut Nadra MM terkejut. Laporan Askes yang menyebut telah melakukan transfer sebesar 6,7 miliar, tidak ditemukan dalam rekening Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali bernomor 002343-7 atas nama RS Sanglah. Direktur Keuangan Rumah Sakit Sanglah itu hanya menemukan dana sebesar Rp 6,4 miliar. Selisih Rp 300 juta, mengundang tanda tanya besar di benak Nadra.
Dalam kondisi panik, Nadra langsung mendatangi PT. Askes Kantor Cabang Denpasar guna mempertanyakan kebenaran nilai transfer. “Waktu itu saya tanya, kok transfer cuma Rp 6,4 miliar?” cerita Nadra. Di luar dugaan, pihak Askes yang ketika itu diwakili langsung oleh Manajer PT. Askes Cabang Denpasar, dr. Ngurah Mas Aryanthi, bersikeras telah mentransfer Rp 6,7 miliar. “Ibu Mas bilang, dana Rp 6,7 miliar sudah ditransfer ke rekening Sanglah. Coba dicek ke rekening yang satu lagi,” terang Nadra meniru pernyataan Aryanthi.
Nadra mengaku kaget luar biasa ketika itu. Pasalnya, selama ini Rumah Sakit Sanglah hanya memiliki satu rekening di BPD Bali. Rekening resmi atas nama Rumah Sakit Sanglah itu bahkan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan, sesuai aturan perundang-undangan. Namun pihak Askes justru menyebut keberadaan sebuah rekening lain di BNI 46, yang diklaim sebagai rekening resmi milik Sanglah. Pihak Askes mengaku selalu mentransfer dana klaim Askes Maskin ke dua rekening tersebut, yakni rekening resmi di BPD Bali dan BNI 46.
Setelah dicek, ternyata rekening BNI 46 bernomor 97423728 tersebut dibuka atas nama IGA Maryani/RS Sanglah. IGA Maryani adalah petugas entry data masyarakat miskin di Rumah Sakit Sanglah. Keberadaan satu rekening tak dikenal yang mengatasnamakan Rumah Sakit Sanglah, membuat kaget. “Saya bilang ke Askes, ini rekening siapa? Yang saya tahu, Sanglah hanya punya satu rekening,” cerita Nadra.
Ternyata, ini bukan kali pertama PT. Askes mentransfer dana klaim Askes Maskin ke rekening BNI 46. Sejak dibuka pada Februari 2006, rekening pribadi milik oknum pegawai Sanglah itu sudah menerima 12 kali transferan dari PT. Askes. Nilainya pun tak tanggung, mencapai lebih dari Rp 2,3 miliar. Transfer dilakukan antara 5 April 2006 hingga 20 April 2007 atas pembayaran klaim dana Askes Maskin Februari 2006 hingga Januari 2007. Namun dana yang tersisa di dalam rekening, hanya Rp 2 juta.
Manajer PT. Askes Cabang Denpasar, dr. Ngurah Mas Aryanthi, beralasan transfer ke rekening BNI 46 dilakukan atas dasar kepercayaan yang tinggi terhadap pegawai IGA Maryani, yang telah lama menjadi contact person RS Sanglah di PT. Askes. Menurut Mas, IGA Maryani mengajukan satu rekening baru di BNI 46 pada Februari 2006. “Dia (IGA Maryani) bilang ke saya, Rumah Sakit Sanglah punya rekening baru di BNI 46. Tolong transfer klaim maskin tiap bulannya, displit sebagian ke rekening baru ini. Karena kami sudah percaya dengan dia, ya kami selalu transfer sebagian ke rekening BNI,” terang Mas.
IGA Maryani sendiri, menurut Nadra, telah mengakui perbuatannya. Hal itu dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani pegawai yang bekerja di RS Sanglah sejak tahun 1995 sebagai honorer dan baru diangkat sebagai pegwai negeri sipil (PNS) tahun 1997 itu. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani 26 April tersebut, Maryani mengakui telah menerima transfer dana dan menyatakan akan menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Anehnya, dalam surat pernyataan juga disebutkan bahwa pihaknya tidak akan melibatkan karyawan PT. Askes.
Tim kuasa hukum IGA Maryani, I Ketut Gede Suarnatha, SH,MH dan R. Teddy Raharjo,SH, mempertanyakan keabsahan surat pernyataan kliennya itu. “Untuk apa ada poin tidak akan melibatkan karyawan PT. Askes ?” Teddy heran. Menurut Teddy, kliennya terpaksa menandatangani surat pernyataan itu karena berada di bawah tekanan pihak Askes dan RS Sanglah. Yang juga ganjil, keesokan harinya pihak RS Sanglah kembali meminta IGA Maryani menandatangani surat pernyataan serupa. Bedanya, poin ketiga diganti dengan pernyataan “tidak akan melibatkan karyawan RS Sanglah”.
Baik Teddy maupun Suarnatha, menduga ada konspirasi besar dibalik penuduhan terhadap kliennya. Menurut Suarnatha, kliennya yang saat ini dinon-jobkan tidak pernah merasa membuka rekening atas nama IGA Maryani/RS Sanglah. Karenanya, Maryani tak pernah tahu ke mana dana yang pernah mampir ke rekening atas namanya itu. Maryani memang memiliki tiga rekening atas nama dirinya di BNI 46. dua rekening digunakan untuk tabungan kedua anaknya, sementara satu rekenig untuk menerima gaji dari RS Sanglah. “Semua rekeningnya atas nama IGA Maryani. Dia tidak pernah buka rekening atas nama IGA Maryani/RS Sanglah,” tegas Suarnatha.
Yang tak kalah aneh, menurut Teddy, Maryani tiba-tiba menemukan buku tabungan atas nama IGA Maryani/RS Sanglah di dalam tasnya, tepat ketika ia dituduh menyelewengkan dana. “Waktu itu Ibu Maryani diminta mengeluarkan buku tabungan dari tasnya. Karena merasa tak bersalah, dia langsung mengambil buku tabungan BNI yang memang ada di tasnya. Ia sendiri kaget karena ternyata di tasnya ada buku tabungan atas nama IGA Maryani/RS Sanglah,” terang Teddy. Dari sana, dugaan adanya konspirasi besar di balik kasus itu, makin menguat. Ia menduga ada upaya menutupi kesalahan seseorang atau beberapa orang kuat, dengan menjadikan kliennya sebagai tumbal. “Klien kami hanya bertugas sebagai staf entry data. Dia mengaku tidak pernah ke Askes. Lagi pula, yang aneh, kenapa setelah satu tahun baru diketahui? Apa selama ini Sanglah tidak pernah merasa ada dana transfer yang kurang?” tandas Teddy.
Pihak PT. Askes dengan RS Sanglah sendiri, terkesan saling menyalahkan atas kasus ini. Rumah Sakit Sanglah menilai PT. Askes gegabah mentransfer dana ke rekening pribadi. Sementara Kepala PT. Askes Regional Bali, NTB dan NTT, dr. Erna Wijaya Kusuma, justru balik mempertanyakan sikap RS Sanglah yang baru mempertanyakan setelah berjalan satu tahun. “Kenapa baru sekarang dipertanyakan Selama ini, kok Sanglah tidak pernah menanyakan ada kekurangan transfer klaim?” tegas Erna, sembari mengaku selalu mengirimkan surat pemberitahuan dan copy bukti transfer dana kedua rekening ke rumah sakit Sanglah lewat jasa ekspedisi. Tapi, Kepala Satuan Pengendalian Intern (SPI) RS Sanglah, Ketut Rupini, membantah telah menerima surat pemberitahuan dan bukti transfer. “Yang jelas, kami tidak pernah terima surat pemberitahuan dan bukti transfer. Kami tidak tahu apakah yang bersangkutan (IGA Maryani,red) juga yang menerima surat itu,” tandas Rupini. Anehnya, kekurangan dana transfer yang selama ini diterima Sanglah, menurut Rupini, langsung dibukukan sebagai piutang kepada PT. Askes.
Keganjilan pun tercium oleh anggota DPRD Bali. Anggota Fraksi PDIP, Made Arjaya, mengaku heran melihat sikap saling menyalahkan PT. Askes dan RS Sanglah. Sikap PT. Askes yang langsung mentransfer tanpa konfirmasi kepada pihak berwenang di RS Sanglah, dinilai sebagai tindakan gegabah. Sementara sikap RS Sanglah yang tidak mempertanyakan kekurangan transfer dan langsung membukukannya sebagai piutang, juga sesuatu yang aneh. Padahal di saat yang sama, Erna mengakui kalau Direktur Keuangan RS Sanglah, Ketut Nadra, seringkali datang ke PT. Askes. Ketika dipanggil anggota DPRD Bali untuk menjelaskan perihal kasus tersebut, Erna mengaku bahwa Nadra datang ke PT. Askes sekitar dua hingga tiga kali sebulan. Tidak itu saja, Nadra juga dikatakan sering menelpon ke PT. Askes. “Katanya antara RS Sanglah dan PT. Askes sering kontak. Kenapa hal seperti ini bisa jalan sampai satu tahun,” keluhnya.
Yang tak kalah ganjil, baik pihak PT. Askes maupun RS Sanglah, tidak berupaya mengusut masalah ini secara hukum. RS Sanglah beralasan, pihak PT.Askes lah yang seharusnya melapor secara hukum. "Kalau dilihat persoalannya pihak PT Askes seharusnya yang memperkarakan (melaporkan IGA MA, Red)," jelas Direktur Utama Rumah Sakit Sanglah, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA. Sementara pihak PT. Askes mengaku masih akan mempelajari kasus ini.
Meski demikian, pihak Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan RI langsung menurunkan tim pemeriksanya setelah mendengar kasus ini. Tim yang diketuai Inspektor IV I Gusti Gde Djestawana, SKM, M.Kes tersebut, langsung mengorek keterangan para pegawai rumah sakit dan memeriksa dokumen-dokumen maskin selama periode April 2006 hingga April 2007. Tim yang terdiri atas lima orang itu, rencananya akan melakukan pemeriksaan selama enam hari, untuk mencari kebenaran atas dugaan penyelewengan dana bagi masyarakat miskin itu.
Selain itu, meski tak mendapat laporan resmi, pihak Kejaksaan Tinggi Bali menyatakan tetap akan mengusut kasus ini. Senin, 7 Mei, pihak Kejati Bali memanggil IGA Mayani untuk dimintai keterangan. Penyelesaian kasus secara hukum, menjadi penting. Apalagi dana yang digelapkan adalah dana kesehatan bagi masyarakat miskin. [Komang Erviani]
Transfer Klaim Askesin ke Rekening IGAM
TGL TRANSFER NOMINAL UNTUK PEMBAYARAN KLAIM
5 April 2006 Rp. 177.580.500 Februari 2006
18 Mei 2006 Rp. 250.000.000 Maret 2006
7 Juni 2006 Rp. 150.000.000 Juni 2006
26 Juni 2006 Rp. 300.000.000 April 2006
21 Juli 2006 Rp. 150.000.000 Mei 2006
28 Agustus 2006 Rp. 227.000.000 Juni 2006
28 September 2006 Rp. 200.000.000 Juli 2006
2 November 2006 Rp. 100.441.500 Agustus 2006
24 November 2006 Rp. 137.597.500 September 2006
18 Desember 2006 Rp. 125.000.000 Oktober 2006
22 Maret 2007 Rp. 250.000.000 Desember 2006
20 April 2007 Rp. 280.311.428 Januari 2007
TOTAL Rp. 2.347.930.928
-------------------------------------------------------------------------------
Penyelamat yang Membuat Sekat
Komang Sujana, terus merengek di gendongan ibunya, Luh Murni, 23 tahun. Selang infus yang menempel di tangan kanannya, membuat bocah dua tahun empat bulan itu tampak gelisah kesakitan. Mata kanannya terbalut kapas dan perban.
Sudah hampir setahun, Komang tiba-tiba menjadi sangat akrab dengan Sal Anak Kelas III Jempiring, Rumah Sakit Sanglah. Bersama lima pasien anak lain di ruang yang hanya seluas 5 x 3 meter itu, Sujana kini harus menghabiskan sebagian besar harinya.
Sejak dinyatakan mengidap tumor ganas pada mata, Sujana wajib berobat rutin ke Rumah Sakit Sanglah. Awalnya, ia bahkan harus dirawat selama dua bulan penuh. Namun kini, ia hanya perlu menghabiskan empat hari tiap minggunya, untuk tinggal di rumah sakit. Itu karena Sujana harus menjalani kemotherapi untuk mengobati tumor di kedua matanya yang kini sudah tak berfungsi lagi.
Luh Murni dan suaminya Gde Nyeneng, 21 tahun, bahkan harus pindah dari tempat asalnya di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem ke Denpasar, demi mempermudah akses pengobatan Komang. Awalnya, Luh Murni mengaku tak tahu harus melakukan apa pada mata Komang. Keterbatasan biaya, sempat membuatnya hanya mengobati Komang ke dukun di desa.
Namun setelah tahu ada fasilitas asuransi kesehatan bagi masyaakat miskin, Luh Murni seperti mendapat angin segar. Ia kini tak perlu mengeluarkan dana sepeser pun untuk mendapat layanan kesehatan. “Semuanya gratis,” terang Murni. Penghasilan suaminya yang tak menentu sebagai sopir angkot di Denpasar, dipastikan tak akan mampu membiayai pengobatan sang anak. “Syukur juga ada layanan gratis. Kalau nggak, cari di mana? Bapaknya kadang-kadang dapat uang, kadang nggak. Malah sering norok karena penumpang sepi,” ujar ibu tiga anak itu.
Luh Murni termasuk beruntung, karena tak pernah merasa dianaktirikan pihak rumah sakit. Tapi jamak terdengar, ada keluhan dari masyarakat miskin atas layanan yang tak memuaskan bagi mereka. Komang Ane, termasuk salah satu yang pernah mengalaminya. Ketika ia mengalami kecelakaan dan harus dirawat inap, perawat rumah sakit tiba-tiba bersikap tak ramah saat tahu ia menggunakan kartu miskin. Ia bahkan harus menghuni lorong rumah sakit, untuk mendapatkan kamar di kelas III. Pria asal Buleleng itu, tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima perlakuan kasar dari perawat di Rumah Sakit Sanglah itu.
Pasien miskin asal Gerokgak Buleleng, Made Suparja, 50 tahun, juga sempat merasakan sikap tak mengenakkan hanya gara-gara ia mengunakan asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askes Maskin). Itu dirasakannya ketika mencari hendak mencari ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum Singaraja. “Istilahnya, kalau pakai kartu miskin, nggak ada kamar. Tapi kalau pakai duit, ada kamar,” keluhnya.
Namun Kepala PT. Askes Regional Bali, NTB dan NTT, dr. Erna Wijaya Kusuma, membantah adanya kecenderungan itu. Menurutnya, ia selalu melakukan koordinasi dengan pihak rumah sakit agar memberi pelayanan terbaik, termasuk bagi pasien miskin. Pihak rumah sakit pun mengaku selalu mencoba memberi layanan terbaiknya. Dirut RS Sanglah dr. Lanang M. Rudhiarta, menyatakan selalu berupaya memberi yang terbaik bagi semua pasien, tak terkecuali pasien miskin. Disebutkan Lanang, RS Sanglah kini memiliki 677 tempat tidur yang 40 persennya diperuntukkan bagi pasien maskin.
Berdasarkan data PT. Askes Regional Bali, NTB, dan NTT, selama tahun 2006 terdapat sedikitnya 548.357 jiwa penduduk Bali yang memegang kartu Askes Maskin. “Kami selalu berupaya memberi layanan terbaik,” tegas Erna. [Komang Erviani]